Jam Tiga Pagi, Dua Puluh Empat Jam

Akbar Farhatani
4 min readJul 7, 2022

--

Sekarang saya sedang duduk di sebuah coffeeshop. Datangnya saya kemari untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang tertunda. Jadwal saya tiba-tiba ruwet tidak karuan, sehingga saya perlu menjadwal ulang semua kegiatan dan tugas prioritas.

Namun, nyatanya iman saya tidak sekuat baja. Justru hanya selemah anak kecil yang tidak bisa menahan berteriak minta uang, ketika pesawat lewat di atas rumahnya.

Setiap menit saya menyalakan layar ponsel, seperti orang kantoran yang tiap menit ada pesan masuk. Padahal tidak. Siapa pula yang mengirim pesan jam tiga pagi, kalau bukan admin bandar judi online? Tapi, ya, semudah itu saya terdistraksi.

Ya, saya juga ingin berteriak sekarang. Mungkin berteriak minta uang juga, atau melayangkan protes mengapa 24 jam sehari dan 7 hari seminggu tidak bisa direvisi.

Di ruangan ini, total ada empat orang. Semuanya terpaku pada layarnya masing-masing, fokus, tanpa distraksi. Saya tidak mendengar suara apapun selain deru pendingin udara. Sejenak meluruskan kaki dan melihat sekeliling, dan menyadari kalau malam sudah terlalu malam, pagi masih terlalu pagi.

Ketika kantuk sudah lewat, mata akan begitu segar. Hanya saja, badan rasanya sudah tidak karuan. Pikiran saya sudah berfantasi entah kemana, keluar dari pintu kafe ini dan terbang ke tanah tak bertuan dimana saya bisa melakukan apa saja dan mendapat apa saja, tanpa berpikir panjang.

Atau, saya keluar dari sini untuk pergi ke mesin waktu dan kembali ke beberapa tahun lalu. Dimana berat badan saya masih dua puluh kilo lebih ringan, dan beban terberat yang saya rasakan hanya tidak cukup mampu untuk membeli seporsi nasi telur di burjo kesayangan.

Omong-omong soal nasi telur, saya jadi lapar.

Mendadak saya membayangkan ada soto lamongan XT Square, atau soto ayam Klebengan yang begitu memanjakan lidah saya. Dulu, mampu atau tidak mampu, dalam sebulan, hanya sekali saya bisa merasakan makanan pembuka bagi penghuni surga itu. Rasanya tidak ada tandingannya.

Atau, ada seporsi mi ayam Pak Pendek yang begitu legendaris untuk saya. Makanan yang mampu membuat saya bernazar, akan saya santap ketika saya menerima gaji pertama di kantor lama. Makanan yang mampu menghibur saya di setiap suapannya. Makanan yang membuat saya dekat dengan teman-teman kantor lama, yang sudah lama tidak saya temui.

Mereka apa kabar ya? Bagaimana kehidupan mencabik-cabik mereka menjadi berkeping-keping? Atau mereka menjalani hidup mereka dengan bahagia? Atau mereka sudah pasrah diperkosa keadaan?

Terkadang lucu, kalau saya bahas masa-masa itu. Saya merasa teman-teman akan menemani setiap masalah yang akan saya hadapi. Nyatanya, lambat laun, saya mengerti kalau kita semua punya masalah dan sedang berada di ambang kekalahan. Sial, sampai hari ini saya menganggap diri inilah yang punya masalah paling berat. Tanpa mencoba mengerti masalah apa yang sedang mereka alami. Egois dan sangat self-centered.

Artis bukan, pejabat bukan, Ronaldo juga bukan, tapi egoisnya minta ampun. Teman macam apa saya ini?

Pantas saja, saya ketakutan kehilangan mereka. Ternyata saya banyak bergantung kepada mereka, bergantung dan banyak mengemis validasi kalau saya punya masalah lebih banyak dan berhak mendapat belas kasihan.

Kalimat itu menghantam pikiran saya yang rapuh dengan keras. Kini perasaan takut, bersalah, lapar dan kesal menjadi satu. Kombinasi yang tepat untuk menarik kesimpulan, kalau saya ingin menyudahi malam ini lebih cepat.

Segera saya tutup laptop, membereskan meja, dan keluar dari kafe itu. Saya memanaskan motor belalang tempur kesayangan untuk menembus embun di pagi buta. Azan subuh bersahutan mengantar saya pulang dengan kecepatan tinggi.

Di jalanan yang cenderung sepi itu, saya beberapa kali menyalip motor dengan beronjong penuh dengan barang, yang akan dijual di pasar. Beronjong itu dibawa dengan motor gigi butut dengan lampu redup, tapi dibawa dengan kecepatan sedang yang membuat siapapun yang akan kesulitan untuk menyalip.

Tiga atau empat motor dengan beronjong membersamai jalan saya pulang. Alih-alih menyalip, kali ini saya mengikutinya dari belakang, hingga motor-motor itu berbelok arah dan hilang dari pandangan saya yang kabur.

Di lampu merah, ketika saya diharuskan berhenti, saya merenung cukup lama. Saya pernah menulis di satu waktu: jalanan adalah sajadah panjang. Di sini orang-orang memohon, menangis dalam perjalanan pulang atau berangkat kerja, berdoa, bahkan berpelukan atau meregang nyawa.

Sementara saya ingin sekali berteriak. Sebagaimana anak kecil yang berteriak meminta uang ke pesawat yang ia lihat, saya juga ingin berteriak meminta sesuatu. Kondisinya sama: saya dan anak kecil yang teriak itu tahu, kalau berteriak tidak akan mengabulkan apa yang kita mau.

Tapi, bukan poin itu yang ingin saya raih.

Saya hanya ingin telanjang, tanpa baju yang memperlihatkan apa yang tidak representatif di depan banyak orang. Saya ingin polos dalam menyampaikan apa yang saya mau, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Kebebasan itu yang saya mau dan idam-idamksn. Keleluasaan itu yang ingin saya dapatkan. Bisa? Tentu bisa.

Karena kini lampu berwarna hijau.

Belalang tempur sudah maju, gas saya pacu sesuai emosi yang sedang saya rasakan. Belok kanan, kiri, lurus, atau mundur sekalipun, saya yang memegang kemudi. Saya bebas memilih dan menentukan apa yang saya mau, dengan berbagai resiko yang akan saya dapat di tengah jalan.

Lima pagi, kamar gelap menyambut hangat. Doa saya rapal kuat-kuat setelah dua rakaat.

Godean, 8 Juli 2022

--

--

Akbar Farhatani
Akbar Farhatani

No responses yet